Hujan itu sebuah pertanda berkah. Sedangkan
banjir itu mungkin pertanda musibah. Namun tak usah memusingkan mana yang benar
& salah dari keduanya, karena memang diciptakan seperti itu adanya. Yang
saling melengkapi satu sama lain. Walau terkadang berbeda haluan. Layaknya
sebuah agama.
Tak mengherankan, jika disatu sisi ada yang suka
dengan derasnya hujan. Dan disisi lainnya, ada juga yang tak suka dengan kelembaban
hujan. Bagi yang suka akan menikmatinya, seperti bocah kecil yang baru lahir.
Tidak peduli akan bahaya sakit sesudahnya. Inilah potret nyata dari sebagaian
dari manusia di negeri ini. Yang pendudukanya masih dilanda kemiskinan panjang,
sehingga tak ada kata berdiam diri dalam kondisi apa pun termasuk saat hujan
tiba.
Ada yang bergerombol mencari sesuap nasi, dari
perubahaan siklus alam ini. Dengan cara bekerja serambutan menjadi “ Tukang Ojek Payung “, bukan gambaran
asing lagi bukan. Ketika kita melihat banyaknya lalu lalang, gerombolan anak
kecil ditengah petir yang sedang menggelegar membawa sebuah payung besar. Yang lucunya, payung
yang ia bawa tersebut, tanpa ia pakai sendiri untuk melindungi tubuhnya kurus kering dari
derasnya guyuran hujan.
Siapa yang peduli dari mana asal mereka,
terlebih bagaimana latar belakang ! Semua orang, seakan hanya terpanas kosong.
Melihat tingkah laku mereka, yang rela menukar kondisi kesehatan mereka demi
senggagam uang receh 1000-2000 rupiah. Membingungkan, ketika banyak dari kita
yang justru mencari jalan aman dalam setiap kondisi yang berbahaya bagi kesehatan terlebih bagi keuangan.
Terkadang banyak sindiran negatif yang sering
mendarat mulus di telinga bocah kecil seperti mereka itu. Apakah mereka tidak
punya orang tua yang sanggup menghidupi mereka, atau jangan-jangan semua ini
hanya tipuan muslihat dari para orang tua. Yang dengan sengaja memanfaatkan
anak lugu seperti mereka. Entahlah, ketika semua jawaban tersebut. Hanya mereka
& Tuhanlah yang tahu pasti.
Namun tinggalkanlah sejenak, berita negatif yang
ada. Mari nikmati apa yang meraka sajikan, tanpa mengurangi daya & upaya
yang telah mereka lakukan. Seakan gemercik langkah kaki mereka, menjadi
pelengkap dalam sunyinya hujan. Dan menjadi kenangan setelah pelangi 7 warna,
muncul batang hidupnya dilangit biru. Yang bisa kita nikmati, tanpa harus saling
melukai.
Meski rupiah demi rupiah yang didapatkan, harus dibayar setimpal dengan dinginnya rintik hujan yang turun membasi permukaan tanah. Sering kali, nikmatnya masa kecil tak selalu indah seperti yang sering kita dengar dalam cerita Dongeng. Jika tak begini adanya, mungkin nasib mereka akan sama saja dikehidupan yang akan datang. Terlebih sudah mati, jadi abu karena tak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan. Yang tak mengenal kata belas kasihan.
Kesimpulan
:
Memang tak enak untuk
mengingat-ingat bahwa kebahagiaan sering perlu uang yang terkadang amis dan
tenaga kasar yang keringatnya berbau aneh.